TAHUN 2005:
Sepekan setelah Tsunami saya sempat menemani mas Imam B Prasodjo, seorang Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) bersama rekannya Charlie Moet dari Operasion USA, yaitu sebuah lembaga kemanusiaan yg didirikan oleh para veteran tentara Amerika semasa perang Vietnam serta Ariful Amir staf Yayasan Nurani Dunia Jakarta untuk berkeliling zona tsunami di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Ribuan mayat masih terlihat disetiap sudut kota yang sedang di evakuasi oleh teman2 relawan dari berbagai provinsi dan negara saat itu.
Perjalanan kami sampai juga ke daratan yang pertama sekali di sentuh tsunami yaitu pantai Ulhee Lhee dekat mesjid setempat setelah melintasi puing2 bangunan. Tak jauh dari mesjid Ulhee Lhee yg masih kokoh berdiri walau pernah di cium pertama kali oleh gelombang laut yang sangat tinggi hingga ke pusat kota Banda Aceh, kami memperhatikan puing2 bangunan yang hancur akibat bencana yang maha dahsyat itu dengan perasaan yang tak menentu.
Tiba2 Charlie Moet mengambil sebuah jam dinding tua yang telah hancur akibat Tsunami disekitar tempat kami berdiri. Sekilas tak ada yang menarik dari jam dinding tua tersebut karena masih cukup banyak benda-benda lain yang lebih besar dan berserakan dikawasan itu yang tak diketahui siapa pemiliknya.
APA YANG MENARIK DARI JAM DINDING TUA ITU? Kenapa Charlie Moet tertarik ingin membawa jam dinding tua itu ke negara nya ! setelah ia menjelaskan, ternyata jam dinding tua itu saat diambil di lokasi Ulhee Lhee terlihat tanggalnya menunjukkan pada angka 26, dan pada panel hari menunjukkan tulisan SUN (Sunday/Minggu), sementara jarum jam dinding itu menunjukan pukul 8 pagi lebih 58 menit, dengan jarum pendek hampir menyentuh angka 9 dan jarum panjang pada angka 11 lebih beberapa garis saja. Disitu barulah saya sadar, bahwa jam dinding itu telah berhenti berdetak persis pada waktu terjadinya Tsunami Aceh pada Hari Minggu, 26 Desember 2004, pukul 08:58 Wib. Artinya ketika Aceh diguncang Gempa 9.8 SR jam dinding itu mungkin masih berfungsi, dan berhenti berdetak setelah air laut mengamuk menghantam Ibukota Serambi Mekkah yang di mulai dari pantai Ulhee Lhee. Karena keadaan kota Banda Aceh masih sangat kacau dan lumpuh, sementara tugas saya dan teman2 relawan masih sangat disibukkan dengan distribusi bantuan kemanusiaan di Posko Indonesia Peduli SoRAK Aceh, maka saya pun tak ambil pusing terhadap jam dinding tua itu yang dibawa pulang oleh Charlie Moet ke Amerika Serikat. Apa yang terjadi dengan jam dinding Ulhee Lhee itu beberapa bulan kemudian? ternyata di hampir seluruh media massa internasional di Amerika dan Eropa memuat berita dan foto2 tentang jam dinding tersebut dan tak berapa lama Majalah TEMPO Jakarta juga menerbitkan berita dan foto yang sama dengan halaman khusus pada majalah paling populer di Indonesia itu. |
TAHUN 2009: Yang lebih mengejutkan lagi 3,5 tahun kemudian saya mendapat kabar bahwa foto jam dinding tua Ulhee Lhee itu ternyata juga terpajang dalam ukuran besar di ruang kerja orang nomer 1 di BRR (Pak Kuntoro). Saya mulai kagum dengan jam dinding yang tak seberapa mana itu, karena jam itu kini malah mulai tercatat dalam sejarah dunia, jam dinding itu menjadi sangat penting maknanya dan di cari2 keberadaannya oleh Pemerintah Indonesia. Keterkejutan saya tak hanya sampai disitu, ketika mendengar kabar bahwa Pak Kuntoro mendapat perintah dari Presiden untuk segera mencari jam dinding tua yang heboh di media2 massa internasional itu. Memang pada waktu itu tak ada seorang pun yang mengetahui dimana jam dinding ini berada kecuali kami berempat dan Allah SWT. Singkat cerita, BRR 1 menginginkan jam dinding itu dikembalikan ke Aceh untuk ditempatkan di Museum Tsunami di Blang Padang Banda Aceh yang sedang dibangun sebagai tempat benda2 bersejarah sisa Tsunami. Ternyata untuk memulangkan jam dinding tua ini ke Indonesia tak semudah yang saya kira, karena saat itu Charlie Moet punya rencana lain, yaitu ingin menempatkan Jam dinding tua Ulhee Lhee itu di Museum negaranya di AS |
PROSES PEMULANGAN JAM DINDING DARI AS KE ACEH
Melalui lobi-lobi khusus mas Imam B Prasodjo akhirnya Charlie Moet bersedia membawa kembali Jam dinding tua itu kepada Pemerintah Indonesia untuk ditempatkan di Museum Tsunami Aceh dengan sejumlah syarat. Persyaratan yang ia minta adalah, jam dinding tua itu harus diberikan ruangan khusus dan tersendiri di dalam Museum Tsunami, diberikan kaca pelindung kedap udara agar bekas2 lumpur tsunami yang sudah kering yang melekat pada jam dinding itu tidak hilang dan tetap asli, serta di dalam ruangan diberikan lighting yang dapat menerangi jam tersebut dengan jelas serta diberikan plakat informasi tentang riwayat jam dinding tua itu.
Apa bila persyaratan2 itu tidak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia, maka dia menganggap negaranya adalah tempat yang terbaik dalam memperlakukan benda-benda sejarah dunia. Pak Kuntoro selaku Ketua BRR saat itu memang menyanggupi persyaratan2 yang diminta tersebut, bahkan dia telah menyiapkan desain ruangan untuk jam dinding Ulhee Lhee tersebut.
Pada akhirnya jam dinding tua Ulhee Lhee itu diterbangkan kembali dari AS ke Jakarta transit via Singapura. Dari Jakarta selanjutnya diterbangkan ke kota Banda Aceh dan ditempatkan beberapa jam di Kompleks APEC - Radio KISS FM Aceh untuk selanjutnya pada malam harinya mas Imam B Prasodjo, Charlie Moet, saya dan Ipe mengantarkan jam dinding Ulhee Lhee itu kepada Pak Kunturo di Kantor BRR Lueng Bata, Banda Aceh.
Saat kami tiba di ruang kerja pak Kuntoro, yang pertama kali ditanyakannya pada mas Imam adalah "Imam... mana jam dinding itu?" Imam B Prasodjo menjawab, "waduh pak... ketinggalan di Jakarta". Padahal jam itu sudah berada diruangan pak Kuntoro yang dikemas dalam box. Walah... boss2 ini masih suka juga bercanda ...