KESEHARIAN masyarakat Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, tampak biasa saja. Namun, bila Anda menggali lebih dalam, masyarakat di sana ternyata memiliki kekhasan yang tidak dijumpai di tempat lain. Banyuresmi adalah tanah kelahiran ribuan tukang cukur andal yang mengadu nasib di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Bandung. Pelanggan mereka mulai dari masyarakat yang biasa mencukurkan rambut di bawah pohon hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah mengakui kehebatan pencukur asal Banyuresmi.
Bisa disebut penduduk desa tersebut terlahir untuk memoles penampilan rambut seseorang. Sebab sebagian besar kaum lelakinya berprofesi atau setidaknya pernah menjadi tukang cukur di kota besar.
Tukang cukur asal Banyuresmi biasanya menuliskan label ‘Asgar’ (kependekan dari asli Garut) atau ‘Parahyangan’ di depan kios mereka. Namun, bagi yang menjadi pegawai di salon, label tersebut tidak dipajang.
Pencukur asal Banyuresmi bisa dikenali lewat beberapa sikap khas ketika sedang melayani pelanggan. Pertama, pencukur Asgar tidak terburu-buru saat memangkas rambut. Mereka memiliki falsafah, lalaunan asal rapih atau pelan-pelan rapi.
Kedua, rentang waktu mencukur rambut mereka manfaatkan untuk mengajak ngobrol pelanggan. Jika pelanggan kurang nyaman, mereka harus pandai mengalihkan pembicaraan ke topik lain yang lebih disukai.
Ada yang suka membahas isu politik, bertukar informasi kampung halaman, olahraga, maupun mengkritik isu terkini. Tidak ayal, membaca surat kabar, menonton berita di televisi, dan mendengarkan siaran radio wajib mereka lakukan setiap hari.
"Tukang cukur juga harus mengikuti perkembangan informasi. Kalaupun pelanggan lebih aktif mengajak ngobrol dan kita tidak menguasai, cukup jadi pendengar yang baik. Sesekali memberi tanggapan sejauh kita bisa," ujar pencukur rambut asal Bagendit di Kota Bandung, Jajang Aepudin.
Ciri khas ketiga, mereka selalu memberikan servis ekstra berupa pijat di bagian kepala dan pundak selama 5 menit. Khusus untuk pelanggan tetap, waktu pemijatan bisa ditambah tergantung permintaan.
Ketiga resep turun-temurun itu cukup berhasil menjaga keberlanjutan usaha. Tak jarang pelanggan memberikan uang tambahan sebagai tanda bahwa ia puas atas kerja si pencukur.
Pencukur rambut asal Banyuresmi menetapkan tarif sesuai dengan kebiasaan di suatu daerah. Harga sekali cukur di kios dan di bawah pohon berkisar Rp5.000 sampai Rp7.000. Sementara itu, di salon bisa mencapai Rp60 ribu, tergantung fasilitas yang disediakan pemiliknya.
Sejarah
Tidak ada yang dapat menjelaskan secara pasti sejak kapan profesi tukang cukur menjadi tren di sana. Bahkan generasi muda asal Banyuresmi pun tidak bisa menjelaskan cikal bakal tradisi mencukur rambut di daerah mereka.
Menurut Kepala Desa Bagendit Dede Saepudin, budaya merantau menjadi tukang cukur rambut ke Jakarta dan kota besar lainnya telah ada sejak 1950-an.
Waktu itu, para pria berusia 16-25 tahun hijrah ke Jakarta untuk menjadi tukang bangunan seiring dengan makin banyaknya proyek konstruksi di Ibu Kota. Salah seorang dari mereka bernama Bakur membuka usaha pangkas rambut di Jakarta berbekal alat cukur sederhana.
Dengan mengambil tempat di bawah pohon rindang, jasa Bakur ternyata dibutuhkan para pekerja bangunan. Ia pun kewalahan melayani pelanggan.
"Ia lalu mengajak beberapa temannya dari Bagendit untuk menjadi tukang cukur. Kesuksesan Bakur didengar masyarakat di sini sehingga makin banyak pemuda yang pergi ke Jakarta menjadi pencukur rambut," ujar Dede yang pernah menjadi pencukur rambut di Jakarta era 1970-an itu.
Sampai sekarang, lanjut Dede, tukang cukur asal Banyuresmi telah memasuki generasi kelima. Para perantau umumnya berusia 13 tahun sampai 30 tahun. Didominasi dari Desa Bagendit, Banyuresmi, dan Binakarya.
Estimasi dari Kecamatan Banyuremsi diperoleh data jumlah perantau sebagai tukang cukur lebih dari 1.500 orang. Sebanyak 850 orang di antaranya berasal dari Desa Bagendit.
Pada 1990-an, tukang cukur Banyuresmi hanya terkonsentrasi di Jakarta. Sekarang telah merambah ke Depok, Tangerang, Bekasi, Tasikmalaya, Bandung, dan Pulau Sumatra. "Sekarang belum ada jumlah tukang cukur secara pasti di Bagendit. Namun, setelah pendataan oleh BPS tahun ini, profesi tukang cukur akan dicantumkan di KTP," tukasnya.
Dampak ekonomi
Bisa dikatakan, para tukang cukur adalah penyumbang pendapatan. Mereka mencari penghasilan di tanah perantauan dan sebagian uangnya dikirimkan ke keluarga di Banyuresmi. Uang tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, sekolah anak, membeli kendaraan, sampai membangun rumah.
Jika melihat kondisi permukiman Desa Bagendit, bisa dikatakan penduduknya hidup layak. Hampir semua rumah sudah permanen. Menurut salah seorang mantan tukang cukur di Jakarta, Atep Sarifudin, 33, setiap bulan para perantau bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp1,5 juta. Bahkan bisa lebih jika bekerja di salon terkenal atau membuka usaha mandiri. Bisa di atas Rp2,5 juta per bulan.
"Pendapatan paling besar berasal dari uang tip pelanggan yang puas dengan pelayanan kita. Meski cuma Rp5.000 atau Rp10.000, kalau dikumpulkan selama sebulan kan jadi besar," tukas pria yang baru dua tahun terakhir ini membuka warung cukur sendiri di Banyuresmi.
Dari penghasilan tersebut, ia mengaku sanggup menyetor uang ke istri sebesar Rp1 juta per bulan.
Lain lagi dengan pengalaman Kosin Miharja, 31. Selama lima tahun jadi tukang cukur bawah pohon di Pondok Gede, Bekasi, ia bisa meraup penghasilan bersih Rp1,5 juta per bulan. Dari jumlah tersebut, Rp700 ribu diberikan kepada orang tua di Desa Bagendit.
Uang setoran ke orang tua meningkat setelah ia diterima di sebuah salon di Kota Bandung sejak enam bulan lalu. Semua gaji pokoknya sebesar Rp1,2 juta per bulan dikirim ke keluarganya.
Pria bujangan itu sanggup hidup di Bandung dari uang makan dan tip pelanggan. "Jadi tukang cukur memang tidak mungkin kaya. Tapi minimal uangnya cukuplah untuk keperluan rumah tangga," paparnya.
Kepala Desa Bagendit Dede Saepundin menjelaskan, dampak ekonomi dari tukang cukur besar sekali. Pembangunan masjid dan perbaikan jalan pernah dibiayai dari hasil patungan para tukang cukur Jabodetabek.
Ia menghitung, jika setiap tukang cukur mengirim uang minimal Rp500 ribu per bulan, berarti perputaran uang di Desa Bagendit saja telah mencapai Rp400 juta per bulan. Dengan asumsi jumlah perantau mencapai 800 orang.
Jika total tukang cukur di Banyuresmi kurang lebih 2.000 orang, itu berarti angka perputaran uang di sana sedikitnya Rp1 miliar per bulan.