Belajar Pramuka di Afrika Selatan

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata institusi yang tidak kehabisan akal mengarang alasan untuk bisa pelesiran ke luar negeri, untuk menghambur-hamburkan uang rakyat. Dan, tetap tanpa malu, dengan kemasan mentereng studi banding.

Lihat saja betapa kreatifnya Panitia Kerja (Panja) RUU Kepramukaan. Panja yang bernaung di Komisi X DPR itu terbagi dalam dua tim. Satu tim berkunjung ke Jepang dan Korea Selatan, sedangkan tim lainnya studi banding ke Afrika Selatan, berangkat Selasa (14/9) malam.

Pilihan belajar kepramukaan di Afrika Selatan sungguh mengejutkan. Bukan karena negeri yang baru saja sukses menggelar Piala Dunia itu tidak layak dikunjungi, melainkan sungguh tak masuk nalar untuk sebuah RUU Kepramukaan memerlukan studi banding nun jauh ke Afrika.

Apa sih dasar-dasar kepanduan? Ya baris-berbaris, disiplin, keterampilan, serta ketahanan fisik, mental, dan spiritual. Dan tentu membangun kesetiaan dan kebersamaan. Apakah untuk itu DPR merasa harus mengaisnya hingga ke Afrika Selatan dan menelan biaya hingga Rp795 juta?

Ke Afrika Selatan seharusnya belajar mengenai bagaimana negeri itu sukses menyelenggarakan Piala Dunia. Belajar bagaimana negeri Nelson Mandela itu memaafkan dan melupakan politik apartheid kemudian membangun kerukunan dan toleransi. Banyak hal yang bisa dipelajari dari Afrika Selatan, tetapi tidak untuk kepramukaan.

Kita tidak memahami jalan pikiran DPR atau memang DPR tidak perlu lagi dipahami. Mereka bertindak suka-suka dan mengabaikan suara rakyat. Karena itu, jangan kaget jika suatu hari DPR berkunjung ke Somalia untuk mempelajari mengapa warga negeri itu lebih kesohor sebagai perompak dan bajak laut, misalnya. Atau akan berkunjung ke Sudan mempelajari bagaimana negeri itu mengelola taman kanak-kanak.

Pilihan DPR belajar kepramukaan ke Afrika Selatan kian membuktikan dewan memang tidak memiliki urgensi agenda. Mereka sekadar menghabiskan anggaran yang sudah dialokasikan.
Studi banding hakikatnya adalah uji kecerdasan dan keunggulan antara contoh yang satu dan yang lain sebelum mengambil keputusan untuk diterapkan di negeri ini. Tetapi, studi banding ala DPR hanyalah akal-akalan. Publik tak pernah mendengar paparan hebat mengenai hasil studi banding sebuah komisi DPR setelah kunjungan ke luar negeri.

Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi, ternyata kita tidak bisa berharap banyak dari masuknya kaum muda ke parlemen. Mereka tidak juga bisa mengubah kultur pembodohan yang telah lama bersarang di DPR. Malahan ikut-ikutan dalam arus besar parlemen yang gemar piknik ke luar negeri menggunakan uang rakyat.

Sekretariat Bersama Partai Koalisi pendukung SBY-Boediono yang didukung enam fraksi dan menguasai 421 dari 560 kursi DPR adalah kekuatan mahadahsyat untuk mengubah kultur pembodohan di DPR. Namun, yang terjadi justru partai-partai koalisi menjadi pendukung utama pelesiran ke luar negeri dengan uang rakyat.
Studi banding yang dilakukan DPR jelas adalah kebodohan yang tiada bandingannya.