Secara ekonomi, Indonesia akan mampu menumbuhkan industri di dalam negeri. Dengan memproduksi sendiri alutsista, biaya yang dikeluarkan jauh lebih efisien ketimbang membeli. Indonesia tidak akan lagi tergantung dengan pasokan suku cadang alutsista dari negara produsen dan tidak perlu menghabiskan banyak devisa untuk mengimpor alutsista dan suku cadangnya. Apalagi pengalaman yang selama ini terjadi, negara produsen alutsista sering memberlakukan sistem yang merepotkan negara-negara pembeli. Terlebih, jika negara pembeli terkena embargo. Karena itu, memiliki industri pertahanan sendiri akan berdampak pada pemenuhan sistem pertahanan yang lebih efisien dan efektif. Dalam hal daya saing di bidang pertahanan, banyak pihak prihatin.
Maklum alutsista Indonesia dapat dikata lebih uzur dibanding milik negara tetangga, seperti Malaysia. Geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sudah selayaknya mendapat dukungan alutsista yang mumpuni. Tetapi apa lacur, selama ini pemenuhan postur pertahanan dengan sistem alutsista yang memadai masih jauh dari harapan. Ibaratnya, asap jauh dari api. Masalah pendanaan disebut-sebut sebagai faktor utama pemenuhan alutsista Indonesia tertinggal dibanding negara lain.
Pengamat militer Universitas Indonesia (UI) Andi Widjajanto menegaskan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk bisa menjadi salah satu negara produsen industri pertahanan paling utama di dunia.
Selain karena pasarnya sudah besar, potensi bangkitnya industri pertahanan lokal sebenarnya sudah tampak jauh-jauh hari. Hanya, terpaan krisis tahun 1998 mengharuskan industri pertahanan dalam negeri yang sedang dirintis langsung kolaps. ”Penelitian dari Inggris menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari tujuh negara besar di dunia yang diprediksi bakal menguasai industri pertahanan dunia,” ujarnya. Prediksi ini menurut Andi, sebagaimana diestimasikan oleh pakar pertahanan kesohor Richard A Bitzinger, ada tujuh negara yang bakal menguasai industri pertahanan di masa mendatang.
Ketujuh negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Eropa Barat, Brasil, India, dan Indonesia. Selain itu, ketujuh negara tersebut yang diperkirakan akan memiliki pertahanan yang terkuat di antara negara-negara di dunia. ”Artinya, kita sebenarnya memiliki kemampuan tidak hanya untuk mandiri dalam bidang pertahanan namun juga disejajarkan dengan negara-negara lain yang memiliki pertahanan terkuat di dunia,” paparnya. Mencontoh keberhasilan Brasil dan India, yang kini industri pertahanannya mulai maju, Andi mengatakan, kuncinya ternyata terletak pada transfer dan alih teknologi. Sehingga, teknologi pertahanan tidak melulu hanya dikuasai AS dan Rusia yang memang sudah mapan dalam bidang pertahanan.
Beragam strategi alih teknologi bisa dilakukan, apalagi mengingat angka impor alutsista Indonesia tidak sedikit sehingga bisa bernegosiasi dengan negara produsen untuk melakukan produksi bersama. ”Seperti Indonesia yang ingin membeli pesawat tempur dari Brasil sebanyak 172 unit, itu bisa minta diproduksi bersama dan dilakukan di Indonesia. Demikian juga dengan Korea Selatan. Mereka pasti bersedia melakukannya,” ujar Andi.
Pola alih teknologi semacam ini sudah dimulai Kementerian Pertahanan (Kemhan), seperti melalui rencana produksi bersama kapal selam dengan Korea Selatan. Kolaborasi- kolaborasi untuk memproduksi alutsista inilah yang akan menjadi sarana efektif alih teknologi. ”Bahkan, jika perlu kita harus mencuri teknologi. Dan ini sukses dilakukan PT Pindad yang kini bisa memproduksi panser Anoa, yang awalnya beli panser dari Eropa terus dipretelin dan dipelajari. Jadi, ini namanya rekayasa terbalik,” ungkapnya.
Bagaimanapun harus diakui, masih banyak alutsista bagi pertahanan Indonesia yang harus diadakan.
Di antaranya, alutsista yang memiliki efek gentar tinggi seperti pesawat tempur untuk angkatan udara, kapal selam untuk angkatan laut, serta angkatan darat dengan panser atau tank berteknologi canggih. Juru Bicara Kemhan Brigadir Jenderal I Wayan Midhio menegaskan bahwa pengadaan alutsista tidaklah memiliki tujuan untuk bersaing dengan negara-negara lain, kecuali murni demi urusan kepentingan pertahanan nasional. ”Kita harus mematuhi hukum internasional yakni ikut menjaga perdamaian dunia sehingga kita tidak merasa bersaing dengan alutsista milik negara lain,” ujarnya. Selain itu, kata dia, kebutuhan alutsista juga bertujuan untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan memproduksi alutsista sendiri, Indonesia akan memiliki daya tangkal yang tinggi. Kemudian, manfaat lain adalah bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan melalui tumbuh kembangnya industri pertahanan. Jika industri pertahanan bisa hidup dan berkembang, tidak hanya akan menyerap tenaga kerja lokal dan meningkatkan skill para ahli di dalam negeri, namun juga meningkatkan kesejahteraan para anggota TNI dan masyarakat umum. Tentu saja, syaratnya tidak hanya industri manufaktur seperti PT Pindad, PT DI, atau industri strategis lain yang digenjot, tetapi juga industri pendukung yang memproduksi bahan baku. Sehingga, seluruh suku cadang dan bahan baku bisa diproduksi sendiri.
Dengan begitu, Indonesia tidak perlu lagi impor untuk produk tersebut. ”Selama ini melakukan pengadaan selalu lebih cenderung ke Eropa, kini tidak lagi mesti demikian. Melalui sinergi semua lembaga kita bisa mewujudkan industri pertahanan yang mandiri,” ungkapnya. Buktinya, hingga saat ini sudah ada beberapa item produk alutsista milik Indonesia yang mulai diminati negara lain. Jika bisa semakin dikembangkan dan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi salah satu negara produsen alutsista yang diakui dunia.