Kabar terbaru dari Forum Ulama yang diikuti 100 perwakilan pondok pesantren (ponpes) se-Jawa-Madura yang digelar di Ponpes Abu Dzarin, Bojonegoro, Senin (24/5/2010) malam, mengeluarkan fatwa haram bagi para wanita yang pergi ke salon di mana pekerjanya waria.
Alasannya, waria adalah seorang lelaki. Jadi bukan muhrim untuk memangkas rambut atau merias wanita. “Meskipun menyerupai wanita, hakekatnya waria itu adalah laki-laki,” tegas Ahmadi, ketua panitia bahsul masail yang digelar dalam rangka memperingati haul KH M Dimyati Adnan.
Bahsul masail adalah forum ulama yang membahas masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Perwakilan ponpes yang ikut dalam bahsul masail ini di antara dari Ponpes Lirboyo, Kediri; Langitan, Tuban; Al Anwar, Sarang (Jateng); Sidogiri, Pasuruan; An Nur, Malang, dan Syaikona Kholil, Bangkalan.
Namun, fatwa tersebut tak digubris oleh para waria yang mencari nafkah di salon-salon kecantikan. Novi alias Sukisno, 37, waria yang menjabat sebagai Ketua Ikatan Waria Bojonegoro (Iwabo) menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan yang disampaikan para kiai tersebut. Namun, ia tetap cuek dan akan terus melanjutkan usaha salon yang telah dibukanya di Jl Diponegoro Bojonegoro selama 10 tahun tersebut. “Biarkan masyarakat yang menilai sendiri,” jawab Novi.
Menurutnya, saat ini banyak waria yang bekerja di salon kecantikan. Termasuk yang hanya memotong rambut atau yang merias para wanita langganan salon. “Kita kembalikan semua kepada masyarakat. Apakah mereka mau mengikuti fatwa tersebut, atau tetap memanfaatkan jasa waria sebagai perias kecantikan,” sambung Novi.
Dikatakan oleh waria yang tinggal di Kota Bojonegoro ini, tidak semua waria berkelakuan negatif. Pekerjaan waria di bidang kecantikan juga merupakan pekerjaan yang halal serta tidak merugikan orang lain. Bahkan bermanfaat membuka lapangan pekerjaan. “Kalau waria dilarang bekerja di salon, terus bagaimana nasib ratusan atau bahkan ribuan waria yang selama ini sudah bekerja di bidang kecantikan. Apakah, semuanya harus nganggur?” katanya balik bertanya.
Tentang waria, Novi bercerita bahwa sejatinya dirinya adalah seorang lelaki. Namun, nalurinya selalu yakin bahwa dia seorang perempuan. Semua itu juga bukan karena kelainan seksual atau sebagainya. “Secara fisik, saya adalah seorang lelaki. Bukan orang yang mengalami kelainan seks. Tapi, naluri saya selalu yakin bahwa saya ini adalah perempuan,” akunya.
Sementara itu, Kiai Saifudin Zuhri, pengasuh Ponpes Adnan Al Haris, Ngumpak Dalem, Bojonegoro yang juga ikut dalam bashul masail ini, masalah tersebut dibahas setelah ada berbagai pertanyaan terkait hukumnya seorang waria yang menjadi pegawai salon dan bertugas memangkas rambut serta melakukan perawatan kecantikan wanita yang menjadi konsumennya.
“Dengan landasan berbagai kitab yang ada, dengan tegas dinyatakan bahwa haram waria yang melayani perawatan kecantikan kepada konsumen wanita,” tegasnya. Pelayanan itu termasuk seperti memberikan perawatan kulit, potong rambut, dan tata rias.
“Sebab, jelas bahwa mereka adalah seorang lelaki. Hanya saja, tingkah polah atau kebiasaan yang dilakukan para waria itu mirip dengan perempuan,” tambahnya. Rekomendasi fatwa ini, tujuan utamanya agar masyarakat mengetahui atas hukum sebenarnya dalam Islam terkait mendapatkan perawatan dari pekerja salon waria.