Pengantar: Kemarin, Jumat 28 Mei 2010, saya berada di tengah demo FPI terhadap Wali Kota Singkawang, Bapak Hasan Karman dan patung Naga Emas Singkawang.
Saya sangat prihatin dengan kejadian tersebut, dan saya bermaksud untuk mencurahlan keprihatinan saya dalam bentuk tulisan. Saya memohon maaf apabila dianggap sudah lancang menulis surat ini. Ini hanya bentuk keprihatinan saya terhadap kejadian Singkawang 28 Mei 2010
Bletaaaaaaaak!!! - Batu berukuran sedang melayang dan mendarat di ubun-ubun. Batu yang dilempar masa FPI ke arah patung Naga Emas di perempatan dalam kota Singkawang mendarat sengit di kepala saya yang sedang mengambil gambar demo Jumat, 28 Mei 2010, pukul 15.30, tepat bersamaan perayaan Waisak.
Sontak kaki saya bergetar dan darah serasa mengalir lebih cepat dari sebelumnya setelah mendengarseruan ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR, HANCURKAN PATUNG NAGA, JANGAN MAU ORANG MELAYU DIHINA, KOTA SINGKAWANG INI BUKAN PUNYA ORANG CINA!!!
berbaju muslim warna putih lengkap dengan kopiah putih miringnya. Saya melangkah cepat mengikuti pasukan anti huru hara yang mulai maju mendesak Saya terus mengikuti langkah polisi-polisi yang mulai neriakan kata, “TANGKAAAAAP! TANGKAP MEREKA!” Sekali lagi bergemalah kata ALLAHUAKBAR dengan lantang. Bukan saya tergugah mendengar kalimat suci itu dikumandangkan. Hanya ada rasa iba kepada orang yang tega mengumandangkan kalimat suci itu untuk kepentingan yang tidak jelas.
Sore yang masih terik itu menjadikan suasana di persimpangan jalan itu semakin panas. Adegan demo oleh sekitar 20 orang disaksikan ratusan orang. Tanpa ada massa yang kontra terhadap tindakan FPI. Entah mereka apatis, entah mereka takut, entah mereka pasrah. Masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki ruko di sekitar jalan itu sudah menutup tokonya, banyak dari mereka Kota Singkawang
yang berdiri di tepi jalan atau di balkon rukonya untuk melihat atraksi konyol yang disulut oleh isu dalam kutipan sebuah makalah yang ditulis oleh Wali Kota Singkawang, Hasan Karman pada tahun 2008 dalam sebuah seminar sejarah yang menyatakan bahwa beberapa kelompok orang melayu lama adalah perompak. Hasan Karman ketika ditanyai oleh pers pun menjawab, kutipan itu berasal dari buku sejarah Melayu, dan Hasan Karman pun tidak sedang membicarakan bahwa nenek moyang orang Melayu semua adalah perompak. Bahkan Hasan Karman dituntut untuk melepaskan jabatannya.
Dahi saya berkerut mencoba memahami tindakan FPI (yang saya maklumi sebagai tindakan konyol hanya untuk mendapat uang untuk menghidupi organisasinya seperti yang terjadi di Jawa) sembari terus memotret proses penangkapan hingga menaikkan mereka ke mobil tahanan. Setelah itu polisi dengan mobil bajanya berdiri gagah menjaga patung Naga Emas yang sudah punya luka FPI
di kaki tugu. Seketika, sunyi sahabat saya, Laura menelpon dan memerintahkan saya segera berlalu dari tempat itu. Dia tetap berada di pinggir jalan menanti, dia etnis Tionghoa yang sempat menyaksikan kerusuhan itu, seperti dia pernah mematung menyaksikan kerusuhan Mei 1998dengan mata kepalanya sendiri.
Kami berlalu, dan berpikir, hebat benar FPI melakukan tindakan itu dengan membawa isu etnis dan agama sekaligus. Beberapa waktu lalu, dengan gagah berani, FPI mengobrak-abrik kegiatan waria, gay lesbi di Surabaya dan Depok. Pun beberapa waktu lalu, FPI Bekasi hendak merobohkan patung patung tiga perempuan yang mengenakan kebaya- dengan alasan patung itu mengenakan busana ketat.
Mereka melakukan aksi tersebut pada hari Jumat, hari kaum Muslim melalukan ibadah sholat Jumat,, bersamaan dengan perayaan Waisak, sama sekali mereka tidak menghormati hari suci Agama Islam dan Buddha. FPI yang mengusung nama ISLAM melakukan penghinaan terhadap kemanusiaan! Sungguh mengecewakan saya sebagai seorang Muslim. Ricuh soal Patung Naga Singkawang
Saya sempat mendapatkan informasi spekulatif dari bebapa warga sekitar yang saya temui, bahwa kegiatan itu digosok oleh isu nenek moyang Melayu perompak, isu patung Naga Emas, dan isu PILKADA 2011. Pola-pola pergerakan FPI memang sudah terbaca, pergerakan mereka semata-mata adalah untuk mendapatkan uang, tak peduli siapa yang ada berada di balik mereka. Di Singkawang, berita gerakan mereka didukung oleh para orang-orang yang akan bersaing di pilkada dan beberapa anggota militer yang tentunya memiliki kuasa tentunya atas nama kontestasi politik praktis.
Saya mohon maaf karena menuliskan spekulasi siapa yang bergerak di belakang gerakan tersebut. Saya yang naïf ini berharap bahwa para politikus dan militer yang disebut-sebut itu tidak benar adanya, karena tentunya mereka adalah orang-orang mulia.
Saya bukan penulis berita investigasi, saya hanya seorang manusia yang ingin bersuara. Saya melihat salah satu sisi kemanusiaan di Singkawang disepelekan. Kehidupan bernegara pun diabaikan. Siapapun yang mendanai amukan konyol tanpa alasan yang jelas kaum FPI itu, dia tidak berhak membawa isu sejarah, etnisitas, jika dia tidak benar-benar memahami sejarah Indonesia, apalagi sejarah Singkawang! Mungkin Pancasila dan lagu Indonesa Raya pun mereka tidak hafal.
Ingin rasanya saya berkata, “hai FPI, sudahlaaaah…jangan mengurusi masalah etnis, etnis manapun tak layak dibenturkan dengan konflik. Tak hanya konflik etnis Tionghoa. Kasus Poso, Ambon, Sambas, tak bijak jika terus diungkit.” Etnis Tionghoa punya hak yang sama sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk menegakkan NKRI HARGA MATI.
Bubarkan saja FPI kalau fungsinya hanya untuk membuat kacau keharmonisan hidup bernegara! Seperti terjadinya pembubaran FPI di beberapa daerah di Pulau Jawa ketika terjadi kasus pemukulan terhadap perempuan dan anak kecil di MONAS. Jangan takut pada FPI, karena fakta bicara, FPI bukan oraganisasi agama, tapi hanya mengenakan kedok agama untuk melegitimasi gerakan mereka! Anggota FPI Singkawang mungkin belum tahu bahwa pimpinan FPI pusat yang ditangkap, ketika kediamannya digeledah dan ditemukan banyak VCD porno, dia berkata “aaah…itu kan untuk sarana RISET!” Aih aih…ketua FPI Sang Habib pun ternyata mengoleksi VCD porno atas nama riset. Sangat memprihatinkan.
Saya pun sangat salut dengan kerja aparat keamanan yang tidak tinggal diam menyaksikan aksi anarkis FPI. Salut! Semoga polisi Singkawang memang tulus menjadi abdi danpelindung warga Singkawang, tanpa memandang etnisitas.
Bersama surat ini pun saya berharap banyak kepada pemerintah pembuat kebijakan di tingkat Propinsi Kalimantan Barat dan Kota Singkawang untuk memberi banyak himbauan kepada warga untuk tidak mudah tergosok isu etnisitas. Bahwa pendidikan toleransi dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hal yang utama.
Saya tutup tulisan curahan hati ini dengan harapan, walaupun konflik memang tidak bisa tiada dalam kehidupan bernegara, namun semboyan INDONESIA NKRI HARGA MATI adalah sumpah sehidup semati, mari bersama-sama memberikan yang terbaik untuk Negara Indonesia tercinta, tanah tumpah darah kita dengan meminimalisasi potensi konflik. Tempat kita dilahirkan dan mungkin kelak kita akan dikebumikan di tanah ini.